JAKARTA - Ketegangan politik antara China dan Jepang memunculkan dinamika baru dalam industri pariwisata regional. Hubungan dua negara besar Asia itu memanas setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengusulkan potensi intervensi militer di Selat Taiwan, memicu respons keras dari Beijing.
Langkah China memboikot Jepang dengan meminta maskapai domestik memberikan pengembalian dana hingga akhir 2025 bagi wisatawan yang hendak terbang ke Jepang, langsung mengalihkan arus perjalanan dalam jumlah besar.
Ratusan ribu wisatawan Tiongkok yang biasa mengisi destinasi favorit di Jepang kini mulai membidik negara lain sebagai alternatif utama untuk liburan musim dingin. Situasi ini otomatis membuka ruang kompetisi baru antara negara-negara di Asia yang berupaya memanfaatkan peluang tersebut.
Pergeseran Kunjungan dan Meningkatnya Persaingan Antarnegara
Data dari platform perjalanan China, Qunar, menunjukkan perubahan mencolok. Untuk akhir pekan 15 November 2025, Korea Selatan muncul sebagai destinasi luar negeri paling diminati wisatawan China, menggeser Jepang dari posisi puncak.
Negeri ginseng mencatatkan peringkat teratas dalam volume pencarian serta pembayaran tiket pesawat, diikuti oleh Thailand, Hong Kong, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Indonesia. Lonjakan itu tidak lepas dari meningkatnya minat masyarakat Tiongkok untuk mencari destinasi yang nyaman, terjangkau, dan dekat secara geografis setelah rencana perjalanan mereka ke Jepang gagal.
Meskipun Korea Selatan telah dikunjungi sekitar 4,7 juta wisatawan Tiongkok dari Januari hingga Oktober 2025—angka yang lebih tinggi dibanding total setahun sebelumnya—posisi negara ini tidak sepenuhnya aman. Persaingan dari Thailand, Rusia, dan sejumlah negara bebas visa lainnya semakin kuat. Agen perjalanan di Beijing pun mulai menyesuaikan strategi
. “Sebagian besar tiket pesawat tur grup ke Jepang telah dibatalkan, dan kami sekarang malah mempromosikan paket untuk negara dan wilayah lain, seperti Thailand, Semporna (di Malaysia), Korea Selatan dan lainnya,” kata Li Xiaoya, agen perjalanan yang berbasis di Beijing.
Penyesuaian Rute dan Strategi Transportasi Regional
Perubahan mendadak arus wisatawan ini berbarengan dengan langkah cepat maskapai Korea untuk memperluas dan mengintensifkan rute menuju China. Peningkatan permintaan dari pelancong Tiongkok dipandang lebih menguntungkan dibanding mempertahankan rute ke Jepang dalam kondisi politik yang tidak pasti.
Korean Air meningkatkan frekuensi penerbangan Incheon–Fuzhou dari tiga menjadi empat kali per minggu pada bulan sebelumnya. Asiana Airlines bahkan berencana mengoperasikan 165 penerbangan mingguan ke China pada Maret 2026, mencerminkan kenaikan kapasitas hingga 20 persen.
Respons juga datang dari sektor pelayaran. Operator kapal pesiar China memilih melewati pelabuhan Jepang dan menambah durasi singgah mereka di destinasi Korea seperti Pulau Jeju. Data dari Tongcheng Travel mencatat pemesanan hotel oleh wisatawan Tiongkok untuk perjalanan ke Korea selama dua minggu terakhir bulan November melonjak lebih dari 240 persen dibanding tahun sebelumnya.
Fenomena serupa juga terjadi di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam dan Indonesia, yang mencapai peningkatan lebih dari 100 persen year on year. Bahkan, negara-negara yang lebih jauh seperti Jerman dan Spanyol turut merasakan dampaknya, mencatat pertumbuhan pemesanan hingga lebih dari 300 persen secara tahunan.
Kebijakan Bebas Visa Menjadi Alat Persaingan Utama
Dalam situasi yang terus berubah, maskapai dan agen perjalanan dari berbagai negara melakukan penyesuaian cepat. Salah satu perwakilan penjualan maskapai China di Shanghai mengungkap bahwa mereka awalnya akan mengurangi kapasitas penerbangan ke Thailand. Namun, kebijakan itu dibatalkan dan diganti dengan peningkatan kapasitas karena adanya ketidakpastian dengan Jepang.
Kebijakan bebas visa menjadi faktor krusial dalam persaingan ini, khususnya bagi wisatawan China yang ingin mengubah rencana secara mendadak tanpa harus melalui proses aplikasi visa yang memakan waktu.
Thailand tampil dominan sebagai destinasi utama wisatawan Tiongkok untuk periode liburan musim dingin 15 Januari–10 Februari 2026. Sementara Rusia, yang mulai menerapkan kebijakan bebas visa hingga 30 hari, juga ikut meraih keuntungan.
Media China melaporkan bahwa pencarian dan pemesanan perjalanan ke Rusia melonjak drastis setelah pengumuman tersebut, diikuti peningkatan pemesanan penerbangan hingga 1,5 kali secara tahunan. Kedua negara itu memanfaatkan momentum dengan menawarkan kemudahan yang sangat menarik bagi wisatawan yang mencari liburan cepat tanpa hambatan administratif.
Daya Saing Korea Selatan di Tengah Perubahan Arus Wisata
Meski tren perjalanan musim dingin meningkat setelah ketegangan China–Jepang, staf agen perjalanan yang menangani tur Korea Selatan mengakui bahwa lonjakan pemesanan tetap moderat. Januari dan Februari sebenarnya bukan musim puncak perjalanan menuju Korea, sehingga peningkatan yang terjadi tidak sedramatis yang mungkin diperkirakan. “
Ada banyak pilihan bagi wisatawan Tiongkok yang ingin merasakan lanskap musim dingin, termasuk tujuan domestik seperti Harbin atau lokasi internasional seperti Rusia dan berbagai negara Eropa. Korea Selatan menghadapi persaingan ketat di bidang ini,” ujar salah satu staf.
Destinasi musim dingin domestik seperti Sanya di Hainan, serta negara-negara tropis seperti Thailand, juga ikut mencatat pertumbuhan signifikan dari tahun ke tahun, semakin mempersempit ruang bagi Korea untuk mempertahankan dominasinya. Kendati demikian, Korea Selatan tetap mempertahankan daya tarik yang kuat, terutama di kalangan warga kota metropolitan seperti Shanghai.
Kemudahan akses geografis, popularitas industri hiburan Korea, dan pesona belanja bebas bea K-shopping menjadi kombinasi yang membuat negara ini tetap relevan. Willow Zhao, mahasiswa doktoral berusia 27 tahun di Shanghai yang membatalkan perjalanannya ke Jepang, mengakui bahwa Korea menjadi alternatif yang sangat dipertimbangkan karena lokasinya yang dekat sekaligus menawarkan pengalaman belanja yang menarik.