JAKARTA - Pembahasan mengenai mi instan kembali mencuri perhatian publik setelah sejumlah temuan menunjukkan bahwa makanan praktis ini membutuhkan waktu pencernaan yang jauh lebih lama dibandingkan jenis mi lainnya.
Banyak orang mungkin hanya mengenal mi instan sebagai hidangan cepat saji yang mudah dibuat, tetapi tidak menyadari bahwa kecepatan memasaknya tidak sebanding dengan proses tubuh dalam mencerna makanan tersebut. Melalui penjelasan pakar kesehatan, gambaran mengenai bagaimana tubuh memperlakukan mi instan menjadi semakin jelas dan menarik untuk dipahami lebih dalam.
Temuan ini bukan dimaksudkan untuk menakut-nakuti, melainkan memperluas wawasan masyarakat mengenai apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuh setelah menikmati seporsi mi instan.
Penjelasan dokter menunjukkan bahwa ada alasan ilmiah terkait lamanya waktu pencernaan, mulai dari cara produksi hingga kandungan mi itu sendiri. Dengan memahami faktor-faktor tersebut, konsumsi mi instan dapat dilakukan lebih bijak dan tidak merugikan kesehatan jangka panjang.
Proses Pencernaan yang Lebih Lambat
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterologi dan hepatologi, Aru Ariadno, menjelaskan bahwa mi instan menempuh proses yang jauh lebih rumit di dalam tubuh dibandingkan mi segar.
Pada sebagian orang, sisa mi instan bahkan baru benar-benar keluar dari tubuh setelah 1–2 hari. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa karakteristik khas dari mi instan yang tidak dimiliki produk mi lain.
Menurut Aru, mi instan bisa bertahan 3–5 jam di lambung sebelum bergerak ke tahap pencernaan berikutnya. Lamanya proses ini berkaitan langsung dengan cara pembuatan mi instan, yakni melalui proses penggorengan.
Ketika digoreng, mi instan memiliki kandungan lemak jenuh yang lebih tinggi. Lemak jenuh inilah yang memperlambat gerakan lambung dan membuat makanan memerlukan waktu lebih lama untuk dipecah.
Selain lemak jenuh, terdapat pula faktor lain yang membuat mi instan lebih sulit diurai, yaitu bahan pengawet. Kandungan ini membuat tekstur mi menjadi lebih keras dan tidak mudah hancur di dalam sistem pencernaan. Sementara itu, mi segar atau mi yang tidak melalui proses pengawetan cenderung lebih lembut dan dapat hancur dengan cepat.
Kandungan Mi Instan dan Dampaknya
Selain proses pengolahan, komposisi mi instan turut berperan besar dalam menentukan bagaimana tubuh meresponsnya. Salah satu kekurangan utama mi instan adalah minimnya kandungan serat.
Padahal, serat merupakan komponen penting dalam menjaga kelancaran kerja usus. Ketika makanan kekurangan serat, gerakan usus melambat sehingga proses pembuangan menjadi lebih lama.
Kondisi ini berpotensi memengaruhi metabolisme secara keseluruhan. Lambatnya proses pencernaan bukan hanya soal waktu yang diperlukan makanan keluar dari tubuh, tetapi juga berhubungan dengan kesehatan jangka panjang. Tanpa serat yang cukup, makanan lebih lama berada di saluran pencernaan dan dapat memicu berbagai ketidaknyamanan.
“Masalah yang paling sering muncul akibat sering makan mi instan seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, obesitas, diabetes, gangguan pencernaan, hingga gangguan fungsi ginjal,” ujar Aru.
Ia menegaskan bahwa risiko tersebut berasal dari kombinasi kandungan mi instan yang kurang seimbang, terutama tingginya kadar natrium, kalori, serta lemak jenuh.
Mi instan juga rendah vitamin, mineral, dan protein, sehingga tidak memberikan kecukupan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Tingginya natrium dapat membebani ginjal, sementara lemak jenuh meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Bila dikonsumsi terlalu sering, makanan ini tidak hanya menghambat pencernaan, tetapi juga dapat memengaruhi berbagai fungsi organ.
Konsumsi Bijak untuk Menjaga Kesehatan
Mi instan memang telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat modern karena harganya terjangkau, rasanya lezat, dan proses memasaknya cepat. Namun, temuan dari para ahli menunjukkan bahwa kemudahan tersebut perlu diimbangi dengan pemahaman yang benar tentang batasan konsumsi. Dengan mengetahui bagaimana mi instan bekerja di dalam tubuh, masyarakat dapat membuat pilihan yang lebih tepat terkait pola makan mereka.
Meski memiliki banyak kekurangan, mi instan tetap dapat dikonsumsi sesekali dengan modifikasi sederhana untuk mengurangi potensi dampaknya. Misalnya, menambahkan sayuran, telur, atau sumber protein lainnya untuk meningkatkan nilai gizinya. Mengurangi penggunaan bumbu yang tinggi natrium juga dapat membantu menekan risiko jangka panjang.
Pemahaman tentang pencernaan mi instan bukan bertujuan membuat masyarakat menjauhinya sepenuhnya, melainkan mendorong kesadaran agar konsumsi dilakukan lebih bijak.
Dengan memperhatikan kandungan nutrisi, frekuensi makan, dan kombinasi bahan yang digunakan, mi instan tetap dapat dinikmati tanpa mengorbankan kesehatan pencernaan maupun kondisi tubuh secara keseluruhan.