JAKARTA - Asia Tenggara dan kawasan Pasifik Barat tengah memasuki fase penting dalam modernisasi sistem kesehatan. Para ahli di wilayah ini sepakat bahwa akses tenaga medis terhadap bukti ilmiah terbaru harus berlangsung lebih cepat, akurat, dan terintegrasi.
Di tengah dinamika penyakit baru, perubahan pola kesehatan masyarakat, serta meningkatnya kebutuhan respons darurat, keterlambatan pembaruan panduan medis dapat berdampak serius. Karena itu, berbagai negara kini bergabung untuk merancang peta jalan kecerdasan buatan (AI) yang akan menjadi fondasi platform bukti medis real-time.
Upaya ini diarahkan untuk menjembatani kesenjangan informasi yang selama ini terjadi di fasilitas kesehatan. Banyak dokter, perawat, hingga pembuat kebijakan masih mengacu pada pedoman klinis lama yang tidak lagi sepenuhnya relevan dengan perkembangan ilmu kedokteran modern.
Inilah yang menjadi latar belakang tercetusnya desain platform AI regional yang mampu menyediakan bukti kesehatan terbaru secara berkelanjutan dan mudah diakses.
Pentingnya Bukti Medis Real-Time untuk Respons Kesehatan
Platform berbasis AI yang tengah disiapkan ini dirancang agar bisa menghubungkan para tenaga kesehatan dan pemangku kebijakan langsung dengan riset medis terkini.
Pembaruan yang terlambat, bahkan hitungan minggu, dapat memengaruhi ketepatan penanganan, terutama dalam situasi darurat kesehatan seperti wabah dan pandemi. Para ahli menilai, sistem yang mampu memperbarui informasi secara real-time akan memperkuat ketahanan kesehatan di tingkat nasional maupun regional.
Dalam lokakarya regional yang digelar bersama WHO dan Cochrane, dibahas kebutuhan kawasan untuk sistem bukti medis modern. Acara ini menghasilkan laporan ilmiah berjudul Co-designing a Living Evidence Architecture yang memetakan langkah-langkah pengembangan sistem tersebut.
Inisiatif ini dipimpin oleh Australian Living Evidence Collaboration (ALEC) dari Monash, berkolaborasi dengan Fakultas Seni, Desain, dan Arsitektur (MADA), Fakultas Teknologi Informasi (FIT) dari Monash University Australia, serta Monash University Indonesia.
Direktur ALEC, Profesor Tari Turner, menegaskan bahwa konsep living evidence adalah bentuk baru infrastruktur pengetahuan kesehatan. Sistem ini, katanya, memungkinkan pembaruan pengetahuan secara berkelanjutan seiring meningkatnya literatur medis dan pemahaman baru tentang penyakit. Platform semacam ini juga mampu menyesuaikan pembaruan sesuai konteks lokal, sehingga lebih relevan bagi masyarakat di tiap negara.
“Melalui kolaborasi dan perancangan bersama, kita dapat membuat bukti ilmiah benar-benar bisa diakses dan berdampak global,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Manfaat Ekonomi dan Klinis dari Akses Bukti Mutakhir
Selain aspek klinis, pembaruan bukti kesehatan yang cepat juga memberikan dampak ekonomi. Profesor Indah Suci Widyahening dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menekankan bahwa rekomendasi medis yang berbasis bukti terkini akan mencegah biaya yang tidak perlu. Ia menjelaskan bahwa keputusan medis yang tidak tepat seringkali menimbulkan pemborosan, baik dari sisi tenaga kesehatan maupun pasien.
“Akses ke bukti kesehatan yang mutakhir dan tepat waktu akan membantu kami memberikan rekomendasi yang relevan dan praktis, serta mengurangi biaya yang tidak perlu,” tegasnya.
Sementara itu, Associate Professor Leah Heiss dari MADA menjelaskan bahwa platform AI harus mampu disesuaikan dengan kebutuhan komunitas yang berbeda. Hal ini penting karena kawasan Asia Tenggara memiliki keragaman budaya, bahasa, sistem kesehatan, serta sumber daya. Para peserta lokakarya menilai platform terpusat yang fleksibel menjadi jawaban atas kebutuhan tersebut.
Mahasiswa program Master of Public Health Monash University, Associate Professor Grace Wangge, juga menyoroti isu representasi regional dalam bukti ilmiah global.
Menurutnya, wawasan medis dari Asia Tenggara sering kali kurang dimanfaatkan, meski sangat relevan dengan konteks lokal. Ia menilai integrasi sudut pandang kawasan ini harus menjadi bagian penting dalam sistem bukti medis internasional.
Pertimbangan Etika dan Nilai Lokal dalam Pengembangan AI Medis
Pengembangan sistem AI di sektor kesehatan tidak hanya menyangkut teknologi, tetapi juga etika. Profesor John Grundy dari Fakultas Teknologi Informasi Monash University Australia mengingatkan bahwa platform AI di bidang medis harus mencerminkan nilai-nilai lokal dan dilakukan secara etis. Pengambilan keputusan yang dihasilkan AI harus transparan, adil, dan mempertimbangkan kepekaan budaya setiap negara di Asia Tenggara.
“Langkah kami berikutnya adalah menyusun peta jalan teknologi untuk mendukung platform living evidence yang mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai lokal, serta mendorong pengambilan keputusan yang transparan dan adil,” katanya.
Dengan disusunnya peta jalan tersebut, proyek ini akan memasuki tahap pencarian pendanaan guna melanjutkan pengembangan, pengujian, serta implementasi di seluruh Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Upaya ini bukan hanya menyangkut teknologi, tetapi juga kesiapan infrastruktur, pelatihan tenaga kesehatan, serta regulasi yang mendukung transformasi digital sektor medis.
Langkah Menuju Arsitektur Bukti Medis Modern di Masa Depan
Setelah peta jalan teknologi rampung, inisiatif ini akan menjadi fondasi bagi terbentuknya Living Evidence Architecture, sebuah visi jangka panjang untuk mempercepat penerjemahan riset kesehatan ke dalam kebijakan dan praktik medis. Dengan sistem yang lebih dinamis, setiap negara di kawasan dapat bertindak lebih cepat ketika muncul ancaman kesehatan baru.
Kolaborasi lintas negara yang melibatkan peneliti, pembuat kebijakan, hingga akademisi ini dipandang sebagai momentum besar untuk mentransformasi cara tenaga kesehatan bekerja.
Dengan memanfaatkan AI sebagai jembatan antara data ilmiah dan praktik klinis, kawasan Asia Tenggara berpotensi menjadi pelopor adopsi sistem bukti medis modern yang terintegrasi dan responsif.